BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Selasa, 29 Desember 2009

Rintihan raga ini tak lagi tertahan

Disaat dirinya dalam naungan tangis kesedihan

Jiwa ini terdiam, tertunduk pada keheningan malam

Disaat semilirnya angin sebarkan rindu yang tak teredam


Akankah terasa lagi …

Naungan tawa kebahagiaan dari hati yang telah terbagi

Akankah ternikmati …

Hembusan angin kebersamaan yang akan mengusir sepi

Akankah terobati …

Segala luka yang telah teripta di relung hati

Akankah segalanya dapat segera kumengerti …

Tuk akhiri rumitnya kisah cinta yang tak bertepi


Hanya dia … yang akan menyempurnakan

Untuk dia … segalanya kulakukan

Demi dia … ku terus bertahan

Karena dia … cinta pertama yang tak tergantikan

Rabu, 09 Desember 2009

PADA mulanya adalah hati :: Lalu perjuangan dari ragu ke ragu.

Sekibar Sekabar


’Anugerah Puisi Cecep Syamsul Hari 2009’ untuk buku kumpulan puisi tunggal berbahasa Indonesia. Kirim paling lambat 1 Februari 2010, dikirimkan melalui pos ke: ’ANUGERAH PUISI CECEP SYAMSUL HARI 2009’, Jl. Raya Cibabat No. 357, Cimahi 40522, Jawa Barat. Hadiah berupa uang tunai sebesar Rp 7.000.000,- (Tujuh Juta Rupiah)!

Selengkapnya baca: DI SINI!

Di Salihara

Di Salihara
Membacakan "Leherku Batang Getah, Aku Menoreh Darah" (foto oleh Helga Worotitjan)

9 Desember 2009

[Kolom Kamisan] Darwin Kafe

DIA bilang dirinya seorang sekuler yang parah. Kami bertemu di sebuah kafe yang borjuis di kota besar itu. Kota kampung halamannya dan tanah kelaharinnya yang hanya bisa dia nikmati saat hari raya. "Saya orang yang tidak pernah mudik," katanya, pada suatu pertemuan kami, "Mau mudik kemana? Kampung saya di sini..."




Di kota itu, dia membagi dua jenis tempat nongkrong: satu borjuis, satu lagi proletar. Baginya keduanya adalah pilihan yang sama asyiknya. Angkringan di tepi jalan yang memindahkan kultur tradisional kota-kota di Pulau Jawa, atau kafe dengan konsep adopsi luar negeri baginya sama saja.

"Bukan tempatnya yang menentukan apakah nongkrong jadi asyik atau tidak, tapi siapa teman ngobrolnya," katanya, dan saya suka kalimat itu. Bikin saya sedikit besar kepala. Nyaris setiap singgah ke kota itu saya selalu menyempatkan diri bertemu dia.

Mengobrol dengannya kadang seperti kuliah atau kursus filsafat singkat. Kadang seperti menggoyang bangunan dasar pemikiran mapan yang kaku dan melihat kemungkinan menyegarkannya dengan sesuatu yang lebih kreatif. Kadang seperti tertular pemikiran-pemikiran subversif, mempertanyakan banyak hal yang selama ini seakan-akan nyaman diterima sebagai kebenaran.

"Kamu percaya Teori Darwin?" katanya malam itu, beberapa waktu lalu. "Saya percaya, karena itu saya tidak percaya visualisasi kiamat dalam film 2012 itu." Ia tak menunggu jawaban saya.

"Menurut saya kiamat itu sudah mulai dari sekarang prosesnya," kata dia. Lalu dia bicara soal memanasnya suhu di bumi, akibat emisi karbon yang tak terkendali, bolongnya lapisan ozon, mencairnya es di kutub bumi, naiknya permukaan laut, berkurangnya daratan, dan kelak manusia terus saja saling bunuh memperebutkan sumber daya alam yang makin langka.

"Itu sudah terjadi di depan mata kita sekarang. Kita ini sudah saling bunuh pelan-pelan," kata dia.

Kita ini, katanya, cuma bicara saja soal Hak Azasi Manusia, kesetaraan, keadilan, tapi pada dasarnya kita cuma mengamankan kepentingan kita masing-masing. "Amerika yang katanya paling jago demokrasi, paling peduli pada Hak Azasi Manusia, nyatanya dengan penduduk yang hanya lima persen dari populasi dunia, mereka menghabiskan dan menguasai 23 persen sumber energi di dunia. Adilkah itu?" katanya.

Saya menyimak saja. Mencoba menghubung-hubungkan arah pembicaraannya dengan Teori Darwin. Dia seperti tahu apa yang saya pikirkan.

"Kamu jangan menghubungkan apa yang saya jelaskan ini dengan Teori Darwin bahwa manusia berasal dari kera. Buat saya bukan itu yang esensial. Yang penting adalah teori evolusinya itu, bahwa yang bisa bertahan adalah makhluk yang paling bisa menyesuaikan dengan perubahan kondisi bumi. Teori survival of the fittest!"

Lagipula, katanya, Darwin setahu saya tidak bilang manusia itu adalah keturunan kera, cuma seketurunan dengan satu makhluk di masa lalu yang kemudian berevolusi sehingga menghasilkan berbagai primata, termasuk kera dan manusia.

"Saya kira tak ada yang salah dengan teori itu. Buat saya itu sama sekali tak bertentangan dengan keyakinan saya. Ah, tapi kamu kan tahu saya ini memang sekuler. Keyakinan agama saya itu urusan saya dengan Tuhan saya, tidak pernah saya campurkan dengan bagaimana saya memikirkan dunia tempat saya hidup ini. Tuhan juga bilang begitu kan? Pikirkanlah duniamu, jangan pikirkan zatku. Kalau tidak salah, ada kan ayat yang bunyinya begitu?" katanya.

Kawan saya ini membayangkan kelak yang bertahan di bumi adalah manusia yang sudah berubah, menyesuaikan diri dengan keadaan bumi yang juga sudah sangat berubah. Evolusi itu, katanya, tidak berhenti.

Kita sekarang ini sedang meneruskan evolusi. Manusia punya kemampuan adaptasi yang luar biasa. Lagi pula bumi ini toh berubah pelan-pelan. Perubahan yang seiring: manusia dan bumi.

"Mungkinkah ada peristiwa luar biasa yang membuat manusia punah seperti dinosaurus?" tanya saya.

"Saya yakin kalaupun peristiwa itu terjadi, akan ada sisa manusia yang hidup, sebab populasi manusia sekarang jauh lebih banyak daripada dinosaurus yang waktu itu sedikit sekali. Secara anatomi, dengan badan limapuluh kali gajah dan otak hanya sebesar kotak korek api, dinosaurus memang bukan makhluk yang hendak dipertahankan oleh alam. Dinosaurus tidak adaptif. Manusia tidak. Manusia malah mengubah alam agar beradaptasi dengan kebutuhan manusia," katanya.

"Ini pada awalnya adalah anugerah. Tapi, kelak ketika perubahan alam yang dibuat oleh manusia itu semakin jauh mengganggu keseimbangan itulah saatnya alam berbalik menolak keinginan manusia," katanya.

Malam itu, kota itu sedikit sejuk. Hujan beberapa kali terjadi sepanjang siang hingga sore. Basahnya masih tersisa di udarakota. Pelayan kafe minta izin untuk mematikan lampu. Kami sejak awal memilih duduk di teras agar bisa meneruskan perbincangan sampai kapan saja kami mau. Kami memang terus mengobrol tentang banyak hal. Kami membayangkan bagaimana bentuk kehidupan manusia dan bagaimana kondisi bumi nanti.***

Terus Telusur...

Kerja Cinta

: d


CINTAKU padamu adalah kerja. Aku ikhlas mengerahkan dan mengarahkan pikiran dan tenaga. Aku tak berharap upah apa-apa, kecuali bahwa aku bangga karena telah mengabdikan diri padamu, pada cinta itu.

Ketika kucium kamu saat bangun tidur di subuh hari, aku seperti memindai kartu karyawan di mesin absensi. Tak ada jadwal kerja. Tapi, dengan ciuman itu aku ingin meyakinkan kamu bahwa aku masih setia bekerja untuk cintaku, mengerjakan cintaku, menghasilkan cinta untukmu.

Aku tak tahu apakah aku harus menandatangani kontrak mati bagi kerja cinta ini, aku bukan pekerja abadi, tapi aku tak pernah ingin berhenti, pensiun atau memecat diri.

Ketika kupeluk kamu, kapan saja sempat kulakukan itu, dan itu bisa berkali-kali dalam sehari, aku sebenarnya hanya ingin memulihkan tenaga hati, menghangatkan suhu jantung lagi. Tidak, aku tidak lelah, aku tidak pernah lelah, sebab mencintaimu adalah kerja seperti jantung berdetak. Jantung mencintai detaknya itu. Aku mencintai cintaku, cintaku padamu itu.

Jantung hanya tahu bahwa dia masih ada ketika dia rasakan detaknya. Seperti itulah aku, yang merasa masih tetap ada selama aku masih mencintai kamu.




Terus Telusur...

8 Desember 2009

Sesayup Saujana

PADA sepasang kaki yang telah sejauh lelah melangkah, apa kenangan yang kau bisa ingatkan padaku? Kota-kota yang kita tamui, kita rumahi, lalu kita tinggalkan?

Mungkin kota kecil itu. Bandara kecil hanya disinggahi sekali sehari, toko sepatu, kedai buku, gerai kaset, dan pasar ikan yang bila sore hari di sana kita belanja, membeli beberapa peristiwa remeh, yang tak akan repot kita mengemasnya. "Waktu adalah ruang yang akan kian sempit dan panjang," kataku, mengatasi ketakmampuanku sendiri, menata risau hati. Dan kita sibuk menghapal refrain lagu itu, lagu tentang sesayup saujana.

Atau komplek perumahan yang tak dilalui pipa air? Dan kita amat rajin menampung hujan di mata, menyimpannya tabah dan lama sebagai tangis bersama, tangis rahasia.

Atau laut itu. Laut yang tahu apa yang tak kita katakan padanya: kamu (katanya, menunjuk padaku) dan kamu (kemudian ia tatap kamu), maukah kuberitahu sesuatu yang lebih tangis, yang lebih rahasia? Laut itu lalu bersenandung senada, semurung mendung, tapi kita seperti diingatkan pada sebuah merdu lagu, lirik sendu, dengan sejumlah kata yang kukira itu adalah perahu, kayuh, atau sauh. Ya, semacam itu.

Dan kita ingat - sekelebat - pada refrain lagu itu, lagu tentang ragu dan gugup dekap kita: tentang sesayup saujana.

Selasa, 17 November 2009